Mengapa Krisis Properti Terjadi di Banyak Negara Sekaligus?
Selasa, 1 Juli 2025 14:47 WIB
Krisis properti global dipicu suku bunga tinggi, utang pengembang, hingga daya beli yang tak sanggup kejar harga rumah.
Properti selalu dianggap sebagai investasi aman, lambang kemakmuran, dan penggerak ekonomi. Tapi sejak beberapa tahun terakhir, dari Asia hingga Eropa, dunia menyaksikan krisis properti yang merata dan mengkhawatirkan. Banyak negara mengalami gelembung pasar, proyek mangkrak, hingga harga rumah yang menjauh dari daya beli rakyat.
Apa yang sebenarnya terjadi?
1. Suku Bunga Tinggi Membuat Kredit Mahal
Setelah pandemi COVID-19, inflasi global melonjak. Untuk mengendalikannya, bank sentral di banyak negara — seperti Federal Reserve (AS), Bank Sentral Eropa, hingga Bank Indonesia — menaikkan suku bunga acuan.
Dampaknya sangat besar pada sektor properti:
-
KPR jadi mahal, cicilan rumah meningkat tajam.
-
Developer kesulitan mencari pinjaman untuk pembangunan.
-
Pembeli rumah, terutama generasi muda, memilih menunda atau membatalkan niat membeli.
Contoh: di AS, bunga KPR sempat menyentuh 7%, tertinggi dalam lebih dari 20 tahun.
2. Kesenjangan Harga dan Daya Beli
Harga rumah terus naik, tetapi pendapatan masyarakat stagnan. Ini memperlebar jurang antara keinginan dan kemampuan memiliki rumah.
Banyak warga kota besar seperti Jakarta, New York, atau London hanya mampu menyewa, bahkan ketika sudah bekerja penuh waktu. Generasi milenial dan Gen Z menjadi kelompok paling terdampak.
3. Gelembung dan Spekulasi
Banyak negara mengalami overinvestasi di sektor properti. Developer membangun apartemen, rumah mewah, dan kompleks besar dengan ekspektasi pertumbuhan tanpa batas.
Namun realita tidak seindah harapan:
-
Di Tiongkok, perusahaan seperti Evergrande dan Country Garden terlilit utang ratusan miliar dolar karena membangun lebih banyak dari permintaan aktual.
-
Di Kanada dan Australia, rumah-rumah dibeli investor spekulatif dan dibiarkan kosong, menciptakan ilusi permintaan tinggi.
Ketika pasar berhenti tumbuh, gelembung meledak.
4. Ketimpangan Pasokan
Ironisnya, krisis ini bukan karena tidak ada rumah — tetapi karena jenis rumah yang dibangun tidak sesuai kebutuhan:
-
Terlalu banyak apartemen mewah atau rumah besar.
-
Terlalu sedikit rumah subsidi atau hunian sederhana untuk pekerja menengah ke bawah.
Di banyak negara, ini menciptakan krisis ganda: surplus properti tak laku dan kekurangan rumah layak huni bagi masyarakat biasa.
5. Pandemi Mengubah Cara Orang Tinggal
Pandemi mempercepat perubahan gaya hidup. Banyak orang bekerja dari rumah, meninggalkan kota besar, dan pindah ke daerah pinggiran yang lebih murah dan tenang.
Akibatnya:
-
Permintaan rumah di pusat kota anjlok.
-
Properti perkantoran dan apartemen di kota besar kosong.
-
Harga di kota kecil justru melonjak karena migrasi urban-rural.
6. Ketergantungan pada Sektor Properti
Di beberapa negara, properti menyumbang 20–30% dari PDB, seperti di Tiongkok. Ketika sektor ini goyah:
-
Lapangan kerja di konstruksi, arsitektur, dan penjualan ikut terganggu.
-
Perbankan terancam karena banyak pinjaman macet.
-
Ekonomi secara keseluruhan bisa memasuki resesi.
Negara-Negara yang Terkena Dampak Besar
Negara | Masalah Utama |
---|---|
Tiongkok | Utang pengembang, proyek mangkrak, krisis kepercayaan |
AS | Suku bunga KPR tinggi, rumah tak terjangkau |
Kanada | Overvaluasi pasar perumahan, banyak properti kosong |
Australia | Spekulasi investor asing, ketidakseimbangan pasokan |
Jerman | Harga anjlok, pembangunan baru melambat drastis |
Swedia | Crash harga rumah, bank mulai batasi kredit |
Solusi yang Sedang Diupayakan
-
Subsidi rumah murah untuk kelompok menengah-bawah.
-
Reformasi perpajakan untuk properti kosong atau spekulatif.
-
Pengendalian harga tanah dan material bangunan.
-
Digitalisasi properti untuk transparansi dan efisiensi.
-
Penurunan suku bunga secara bertahap, seperti yang mulai dilakukan di Tiongkok dan Brasil.
Kesimpulan
Krisis properti global bukan hanya soal rumah, tapi cerminan dari ketimpangan ekonomi, salah arah kebijakan pembangunan, dan ketergantungan berlebihan pada pasar. Tanpa reformasi menyeluruh, krisis ini bisa berdampak luas, bahkan menimbulkan resesi ekonomi jangka panjang di beberapa negara.

Penulis Indonesiana
80 Pengikut

Strategi Pertumbuhan Konglomerat
Senin, 25 Agustus 2025 08:46 WIB
Riwayat Pinjaman Anda dalam BI Checking
Kamis, 21 Agustus 2025 22:45 WIBBaca Juga
Artikel Terpopuler